Iklan

Iklan

,

Iklan

Proyek Jalan Rp8 Miliar di Lampung Selatan Kian Bobrok: Pemasangan Box Culvert Tanpa Lantai Kerja, Kontraktor Diduga Abaikan Teknis!

, 10/28/2025 WIB


Lampung Selatan – 
Aroma ketidakteraturan kian menyengat dari proyek Rekonstruksi Jalan Suban–Pardasuka (R.140) yang dikerjakan CV. Adie Jaya Perkasa di bawah naungan Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan.


Setelah sebelumnya ramai disorot karena tumpukan tanah hasil grader yang dibiarkan menimbun sisi jalan, kini proyek bernilai hampir Rp8 miliar itu kembali menuai kritik keras.


Fakta terbaru di lapangan menunjukkan pekerjaan pemasangan box culvert dilakukan tanpa lantai kerja (lean concrete) — praktik fatal yang menyalahi prinsip dasar konstruksi drainase dan berpotensi mengurangi volume pekerjaan. Lebih parah lagi, saat proses pemasangan berlangsung, genangan air tampak memenuhi dasar galian, menandakan pekerjaan dikerjakan tanpa perencanaan matang dan tanpa kontrol teknis yang semestinya.


“Air dibiarkan menggenang, box langsung dipasang. Tanahnya masih lembek,” ujar salah seorang warga yang enggan disebut namanya. “Kalau begini, sebentar lagi rusak lagi, Bang.”



Pelaksana Lapangan Bungkam, Indikasi Tak Paham Teknis

Ketika dikonfirmasi mengenai metode kerja tersebut, pelaksana lapangan bernama Dwi memilih bungkam.
Sikap diam ini semakin menguatkan dugaan bahwa kontraktor tidak memahami aspek teknis dan spesifikasi kerja yang diatur dalam dokumen kontrak.


Padahal, dalam konstruksi jalan, lantai kerja berfungsi penting sebagai penahan dasar dan perata elevasi agar box culvert tidak amblas, miring, atau retak. Tanpa itu, struktur drainase bisa cepat rusak dan menjadi sumber genangan baru.



KUPT PU Akui: Item Lantai Kerja Tidak Ada dalam RAB

Dikonfirmasi terpisah, KUPT PU Kecamatan Merbau Mataram, Mafudin, justru memberikan pernyataan mengejutkan.

 

“Iya, Bang. Keadaan mendesak, dan saya lihat item lantai kerja memang nggak ada,” ungkapnya.


Pernyataan ini membuka dugaan baru: adanya kelalaian dalam penyusunan dokumen teknis dan Rencana Anggaran Biaya (RAB), atau bahkan penghapusan item pekerjaan secara sengaja.
Padahal sesuai SNI 7394:2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Beton untuk Konstruksi Bangunan, setiap elemen beton pracetak wajib memiliki dasar kerja untuk menjamin stabilitas dan daya dukung struktur.



PPK dan Kabid Bina Marga Sulit Dihubungi

Kinerja Dinas PUPR Lampung Selatan juga dipertanyakan. Upaya media untuk meminta klarifikasi dari Kabid Bina Marga yang juga PPK kegiatan, Hasanuddin, hingga kini belum berhasil. Nomor telepon yang biasa digunakan tidak aktif, dan tidak ada keterangan resmi dari pihak dinas.


Bahkan menurut salah satu anggota DPRD Lampung Selatan, komunikasi dengan pejabat tersebut juga tersendat.

“Nomor Kabid Hasanuddin kami nggak punya, Bang. Soalnya sering ganti-ganti terus,” ujarnya.


Pernyataan ini memperlihatkan minimnya transparansi dan koordinasi antarinstansi, di tengah proyek bernilai miliaran yang bersumber dari keuangan negara.



Indikasi Pelanggaran Administratif dan Potensi Kerugian Negara

Kondisi di lapangan memperlihatkan adanya indikasi pelanggaran terhadap dokumen kontrak, spesifikasi teknis, dan ketentuan hukum konstruksi.
Berdasarkan Pasal 77 huruf (d) Perpres No. 16 Tahun 2018, penyedia jasa yang tidak melaksanakan pekerjaan sesuai spesifikasi dapat dikenai sanksi administrasi, denda, hingga pemutusan kontrak.


Selain itu, Pasal 59 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi secara tegas mewajibkan pelaksana menjaga mutu dan standar teknis dalam setiap pekerjaan konstruksi.
Kelalaian pada tahap dasar seperti ini berpotensi menimbulkan kerusakan dini dan kerugian negara, karena kualitas pekerjaan tidak sesuai nilai kontrak.



Cermin Bobroknya Pengawasan Dinas Teknis

Kasus ini memperlihatkan lemahnya fungsi pengawasan dari Dinas PUPR Lampung Selatan.
Mulai dari dugaan alamat kontraktor fiktif, harga tender yang hanya selisih 0,07% dari HPS, hingga kini kesalahan fatal dalam metode pemasangan box culvert, semuanya menunjukkan pola pengelolaan proyek yang tidak akuntabel dan berpotensi koruptif.


Proyek yang seharusnya menjadi solusi perbaikan akses warga justru berubah menjadi sumber masalah dan simbol kelalaian birokrasi daerah.



Catatan Redaksi

Proyek publik bernilai miliaran rupiah tak boleh dikerjakan serampangan tanpa perencanaan matang dan pengawasan ketat.
Jika praktik seperti ini terus dibiarkan, maka setiap pembangunan hanya akan meninggalkan jejak genangan, lumpur, dan laporan fiktif di atas kertas.


Redaksi akan terus menelusuri pihak-pihak yang bertanggung jawab, termasuk pejabat teknis dan konsultan pengawas yang terlibat dalam proyek ini.


(Tim/Redaksi)