![]() |
Gambar ilustrasi Stop Gratifikasi : Melanggar SE Nomor 73 Tahun 2025, Uang Saku Guru Diduga dari Travel, Kepala Sekolah Mangkir, Wali Murid Tertekan |
Sekolah ini nekat menyelenggarakan perjalanan berdurasi enam hari pada 7–12 Mei 2025 dengan biaya Rp2,6 juta per siswa. Jumlah peserta mencapai 315 siswa, yang berarti total dana yang terkumpul dari pungutan tersebut mencapai angka fantastis: Rp819 juta. Dana sebesar ini, yang dibungkus sebagai bagian dari pembelajaran, nyatanya lebih menyerupai perjalanan wisata berkedok edukasi.
Padahal, Surat Edaran (SE) Nomor 73 Tahun 2025 dari Kementerian Pendidikan secara tegas melarang satuan pendidikan menyelenggarakan kegiatan yang bersifat komersial dan membebani wali murid, termasuk study tour, perpisahan, dan kegiatan serupa yang tidak esensial.
Namun pihak sekolah tampaknya mencari celah hukum dengan melabeli kegiatan ini sebagai “Kunjungan Industri”, meskipun isi perjalanannya kunjungan ke destinasi wisata populer di tiga kota justru memunculkan nuansa jalan-jalan ketimbang edukasi vokasi.
Diduga Ada Gratifikasi: Guru Ungkap Uang Saku Rp1 Juta per Orang
Seorang guru SMKN 1 Tanjung Sari membeberkan bahwa kegiatan tersebut melibatkan 11 guru pendamping dari berbagai jurusan. Yang mengejutkan, ia mengungkap adanya pemberian uang saku sebesar Rp1 juta per guru, yang diduga berasal dari pihak travel.
“Yang sudah-sudah itu satu juta per guru. Itu dari travel,” ujarnya Kamis (22/5/2025).
Jika dana tersebut berasal dari biro perjalanan dan tidak dilaporkan secara resmi dalam struktur pembiayaan, maka indikasinya kuat sebagai gratifikasi. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi kepada ASN dalam bentuk uang, fasilitas, atau pelayanan mewah berpotensi dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Markup Biaya hingga Rp500 Ribu per Siswa, Travel Tutup Mulut
Investigasi tim Media Ruang Investigasi ke sejumlah biro perjalanan mengungkap fakta penting: harga pasar untuk paket perjalanan serupa hanya Rp1,9 juta – Rp2,1 juta. Artinya, ada selisih harga hingga Rp500 ribu per siswa yang belum dijelaskan penggunaannya.
Namun ketika dimintai klarifikasi, pihak travel enggan membeberkan rincian. CEO Puma Tour, Didik, hanya menyebut bahwa rincian adalah "urusan dapur masing-masing", sambil menganggap komplain soal harga sebagai tidak objektif.
“Kalau detail rincian itu sebenarnya kan dapur masing-masing travel to pak,” kata Didik, sambil tertawa, Senin (26/5/2025).
Pernyataan itu semakin menguatkan kecurigaan publik bahwa ada permainan angka dan kemungkinan pembagian keuntungan yang tidak dilaporkan secara resmi.
Tekanan Halus: "Yang Tak Ikut, Tak Bisa PKL"
Guru yang sama juga mengungkap bahwa kegiatan KI ini tidak sepenuhnya sukarela. Ia menyebut ada tekanan tersirat dari pihak sekolah bahwa siswa yang tidak ikut KI akan kesulitan mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL), yang seharusnya menjadi hak semua siswa.
“Ada ucapan, yang nggak ikut KI nggak bisa ikut PKL. Jadi orang tua takut anaknya bermasalah nantinya, makanya terpaksa ikut,” katanya.
Kondisi ini menyalahi prinsip inklusif dan merata dalam pendidikan, serta menimbulkan tekanan sosial dan psikologis terhadap siswa dan orang tua.
Kepala Sekolah Abai, Wakil Humas Diduga Aktor Kunci
Kepemimpinan di sekolah pun tak luput dari sorotan. Kepala sekolah disebut jarang hadir dan tidak aktif memantau kegiatan. Sebaliknya, Romi, Wakil Humas sekolah, disebut sebagai “tangan kanan” kepala sekolah yang menangani hampir semua kegiatan, termasuk urusan dengan biro perjalanan.
“Kepala sekolah itu dari pagi sampai sore nggak pernah ada. Semua kegiatan melibatkan Romi,” beber guru tersebut.
Saat dikonfirmasi, Romi hanya menyebut nama-nama tempat kunjungan tanpa bersedia menunjukkan rincian biaya atau kontrak dengan travel.
Skandal di Balik Label Edukasi
Dengan akumulasi fakta berupa:
- Dugaan gratifikasi (uang saku guru)
- Markup biaya Rp500 ribu/siswa
- Pelanggaran terhadap SE Nomor 73 Tahun 2025
- Tekanan terhadap siswa non-peserta
- Kurangnya transparansi keuangan
- Kepala sekolah yang abai terhadap tanggung jawab
kegiatan ini bukan lagi sekadar kunjungan edukatif, melainkan berpotensi menjadi skandal gratifikasi dan praktik komersialisasi pendidikan.
Aktivis pendidikan dan wali murid kini mendesak agar Dinas Pendidikan dan Inspektorat Provinsi Lampung segera menggelar audit investigatif, termasuk kemungkinan pelanggaran hukum yang dapat dilaporkan ke KPK atau Ombudsman RI.
(TIM REDAKSI | Ruang Investigasi)